Pages

Jumat, 11 Februari 2011

Autumn after the rain

Central Park.
Menjelang sore.
Lizzy tersentak dari lamunan ketika sehelai daun maple berwarna kemerahan jatuh menimpa keningnya. Musim gugur tahun ini seolah datang terlalu cepat. Langit di atasnya masih membiru cerah dan bernoda kilau matahari. Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang gadis kecil menggesek biolanya memainkan Ode to Joy Beethoven di hadapan seorang lelaki tua berambut perak. Lizzy sudah sering melihat mereka namun selalu iri melihat kehangatan yang terpancar di mata kakek dan cucu itu. Mereka sama sekali tak terusik oleh musim gugur yang menyelinap diam-diam di balik dedaunan mapel.
Sejenak Lizzy tertegun, pandangan matanya tertumbuk pada pasangan kekasih yang berdiri di bawah pohon maple tak jauh dari tempat Lizzy duduk, seharusnya pemandangan seperti itu bukan lagi sesuatu yang aneh bagi orang yang berlalu lalang di taman tersebut. Namun, kali ini ada yang menarik hatinya sehingga Lizzy tidak mengalihkan perhatiannya dari dua sosok tersebut, Lizzy tercekat ketika dia melihat perempuan berambut keemasan tersebut memukul pria bertubuh atletis di hadapannya. Pria tersebut hanya tertegun tanpa melakukan pembalasan, mungkin dia sudah terlalu letih menenangkan perempuan cantik di hadapannya yang akhirnya pergi meninggalkannya. Lizzy masih saja memperhatikan pria tersebut sampai kedua mata mereka bertemu pandang. Lizzy tercekat, dia terdiam seolah bisa merasakan mata itu berbicara padanya tentang rasa lelah yang teramat dalam. Lizzy seakan bisa melihat putus asa yang terpancar jelas dari balik bola mata hijau bening milik pria tersebut. Lizzy menundukkan kepalanya tidak berani menatap mata itu lebih dalam, karena dia takut, takut luka itu terkuak dan menjadi lebih perih lagi karena mata itu mata yang sangat mirip, dengan mata seseorang yang selalu mengisi benaknya setahun yang lalu. Pria masa lalu yang membuatnya takut dan tidak memiliki keberanian lagi untuk merajut kisah cinta yang baru dalam hidupnya. Lizzy terpaku seolah kembali melihat masa lalunya.
***
Sore itu, ketika Lizzy tengah menghabiskan liburan musim seminya dengan berlibur di Kota Seoul, Korea Selatan bersama seseorang yang sudah sangat dikenalnya selama 2 tahun terakhir Diaz, pria bermata hijau bening dan berambut pirang emas yang sudah menjadi penghuni hatinya semenjak 3 tahun yang lalu tepatnya 2 tahun 364 hari . Diaz yang selalu membuatnya merasa sangat beruntung menjadi seorang perempuan yang dicintai oleh pria sepertinya, yang selalu bisa membuatnya sulit untuk memejamkan mata pada malam hari dan membuatnya merasa lebih baik waktu berputar perlahan agar dia bisa sedikit lebih lama menikmati setiap detik yang berputar bersama dengan orang yang sangat dicintainya.
Pagi itu tidak seperti biasanya Lizzy bangun lebih pagi, karena hari ini adalah hari yang sangat istimewa, hari ini Diaz berulang tahun yang ke-23 Lizzy ingin memberikan sedikit kejutan karena hari ini juga merupakan hari jadi mereka yang ke 3 tahun. Dengan senyum yang tersungging di sudut bibirnya Lizzy menggeser pintu kamarnya dan berjalan ke kamar mandi namun, dia mengurungkan niatnya dan beranjak ke arah taman belakang karena dia seperti mendengar suara Diaz yang sedang berbicara dengan seseorang. Belum sempat Lizzy memastikan dengan siapa Diaz berbicara, langkahnya terpaksa berhenti setelah mendengarkan kata-kata Diaz.
“Grace, harus sampai kapan aku terus berpura-pura membohongi perasaanku dan menipu semuanya. Aku juga punya hati, hati yang nggak bakal pernah bisa dibohongi, aku nggak bisa terus maksain diri untuk berpura-pura menyayangi Lizzy sebagai pacar, aku menyayangi dia seperti aku menyayangi Evan, adikku. Grace, please I just wanna you understand, your eyes tell me what you feel inside and you can’t lie.”
“Ro, kenapa kamu masih aja meminta aku ngelakuin sesuatu yang nggak akan pernah sanggup untuk aku lakuin, aku nggak bakal sanggup ngejalanin semua itu Ro. Hari ini, tepat anniversary kalian yang ketiga. Kamu sudah menjalaninya selama 3 tahun, dan aku yakin perasaan kamu ke Lizzy sudah lebih dari sekedar perasaan sayang kakak ke adiknya. Aku mohon Ro, Lizzy mencintai kamu lebih dari apapun, aku tidak sanggup mengorbankan perasaan dia demi cinta aku, dan bagiku cintaku ke kamu itu cuma kenangan yang harus dikubur dalam-dalam.” Bukan hanya Diaz yang terluka, tapi ada seseorang yang lebih perih dan terluka mendengar semua itu, Lizzy.
“Ro. Kamu masih memanggil aku dengan nama itu Grace, itu saja sudah cukup untuk membuktikan dan meyakinkan aku kalau hingga detik ini kamu masih memiliki perasaan yang sama denganku. Grace, kamu begitu peduli pada perasaan Lizzy,adikmu. Tapi apa kamu tidak memikirkan perasaanku, perasaan kita.” Grace semakin terisak mendengarkan ucapan yang keluar dari pria di hadapannya, pria yang sangat ia cintai. Grace benar-benar tidak tahu, apa yang harus dia lakukan, dia masih merasa sangat bersalah karena dia dan Diaz yang telah merebut kebahagiaan Lizzy dan Evan yang meninggal karena kecelakaan 2 tahun yang lalu. Semenjak itu, Lizzy hanya bisa tersenyum dengan keberadaan Diaz di sampingnya. Grace mulai menyadari apa yang terjadi antara Lizzy dan Diaz, dan dia harus rela menghadapi kenyataan bahwa Lizzy mencintai pria yang sama dengannya. Grace memutuskan untuk mengalah dan memohon agar Diaz bersedia melupakan dirinya dan memulai kisah baru bersama Lizzy,demi dia. Tapi hari ini, Diaz mengungkit semua luka yang berusaha untuk dipendamnya, Diaz ingin mengakhiri semua sandiwara ini dan Grace sadar itu bukan salahnya karena Diaz tidak mungkin terus menerus berpura-pura mencintai orang yang tidak pernah ia cintai.
Grace masih saja menangis dalam pelukan Diaz, sementara itu Lizzy hanya terdiam karena semua air mata yang tadi ia tumpahkan telah mengering dan menyisakan luka yang teramat perih. Lizzy bangkit dari duduknya, kemudian berjalan dengan langkah lemah dan sedikit terhuyung ke kamarnya. Dengan wajah yang pucat Lizzy memasukkan pakaiannya secara acak ke dalam kopernya.
Lizzy meninggalkan kota seoul dengan senyum pahit. Seandainya saja saat itu bukan musim semi melainkan masih musim dingin maka akan lebih baik baginya. Karena dingin yang menusuk mungkin akan sedikit membantu, agar hatinya yang perih bisa menjadi beku. Lizzy tidak perlu mengajak Diaz berjalan sepanjang doldam street untuk menguji keabadian cinta mereka. Karena hari ini semua itu telah berakhir. Diaz orang yang sangat dia cintai, dan Grace, kakak perempuannya yang sangat dia sayangi ternyata mereka berdua tega membohongi perasaannya. Lizzy seoalah tidak lagi mengenal dua orang yang selama ini menjadi penghuni hatinya. Lizzy meninggalkan musim semi di kota seoul dengan luka dan perasaan yang tercabik.
***
Lizzy kembali tersentak dari lamunan panjangnya oleh daun maple yang jatuh di keningnya. Ketika Lizzy mendongakkan kepalanya, pria tersebut ternyata sudah pergi meninggalkan pohon maple tempatnya tadi berdiri. Entah kenapa terselip sedikit rasa kecewa dalam benak Lizzy. Setelah menghela napas yang panjang, Lizzy kembali memperhatikan pasangan kakek dan cucu yang sedari tadi duduk tak jauh darinya. Lizzy tersenyum, senyum yang kaku. Seandainya saja kisah cintanya bisa selembut kasih sayang antara si kakek dan cucunya tersebut mungkin saat ini dia tidak akan duduk sendiri di bawah pohon maple sambil menghabiskan sore di musim gugur.
Lizzy bangkit dari duduknya dan membalikkan badan, namun dia terperanjat karena pria yang sedari tadi dia perhatikan, berdiri tepat dihadapannya dengan jarak hanya beberapa sentimeter bahkan dia bisa mencium aroma bunga matahari dari tubuh pria tersebut Lizzy juga bisa melihat luka kecil di pelipis pria itu karena pria tersebut menunduk dan menatap tajam ke matanya. Sejenak lizzy terdiam sebelum akhirnya sadar dan melangkah mundur.
“Hey, young lady, don’t be afraid I just wanna know, why I can see my self in your eyes, clearly?” Lizzy tercekat, dia mengerti maksud pria di depannya. Pria itu secara tidak langsung menyindirnya dan mengatakan kenapa-dari-tadi-anda-diam-diam- memperhatikan-saya?
“Never mind, I do not wanna make you scared. My name’s Dylan, Dylan Feedrich. And may I know who you are, young lady?” Young lady? Panggilan yang sangat aneh menurut Lizzy, tapi pria ini memberikan kesan yang sopan dari nada bicaranya, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia baru saja ditinggalkan oleh kekasihnya, itupun kalau tebakan Lizzy benar bahwa perempuan tadi adalah kekasih pria tampan yang kini berdiri dihadapannya.
“Oh, hy aku Lizzy, Lizzy Derracloud.”
“Lizzy? Nama yang sangat serasi dengan pemiliknya, hanya saja sayangnya tidak serasi dengan sifatnya yang buruk. Bad girl !” Lizzy merasakan seolah di hujat oleh seribu anak panah, dia benar-benar tidak menyangka bahwa pria yang sama sekali tidak dikenalnya dalam waktu singkat mengecamnya sebagai seorang gadis yang mempunyai sifat buruk.
“Mungkin sekarang kamu mulai berpikir, kenapa aku, seorang pria yang baru saja kamu kenal bisa mengecam kamu sebagai seorang yang mempunyai sifat buruk? Sebelum kamu semakin bingung baiklah akan aku jelaskan. Kamu seharusnya ngerti, nggak semua orang mau orang lain melihat dan memperhatikan apa yang terjadi antara dia dan kekasihnya. Sekarang kamu mengerti bukan maksudku, young lady?”
Lizzy sama sekali tidak menanggapi setiap perkataan Dylan yang menusuknya dengan berbagai cercaan dan juga nada yang dingin. Lizzy sama sekali tidak merasa sedih atau sakit hati, karena dia tahu percuma baginya menanggapi kata-kata Dylan yang tidak penting untuk menjadi fokusnya saat ini. Lizzy membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Dylan dengan tatapan mata yang lebih menusuk dan memancarkan kesinisan, tatapan yang begitu dingin. Dylan terpaku, karena dia sama sekali tidak menyangka bahwa Lizzy akan pergi dan berlalu begitu saja tanpa membalas cercaan yang dia keluarkan. Dylan sama sekali tidak menyangka bahwa gadis yang baru saja dikenalnya tersebut bisa membuatnya merasa teramat penasaran. Karena sebelumnya tidak pernah ada seorangpun gadis yang dikenalnya memiliki sikap yang begitu dingin seperti Lizzy. Biasanya gadis yang selama ini dikenalnya apabila dicerca oleh seorang pria apalagi oleh pria yang baru saja dikenalnya maka akan membalas dengan kata-kata yang jauh lebih menusuk atau sebaliknya akan menangis. Namun Lizzy, dia hanya meninggalkan Dylan dengan langkah diam dan tatapan mata yang dingin seolah mengatakan aku-tidak-mengerti-apa-maksudmu.
Sepeninggal Lizzy, Dylan terduduk di bawah pohon maple tempat tadi Lizzy duduk dan diam-diam memperhatikannya. Dylan masih tidak mengerti kenapa begitu banyak hal terjadi pada dirinya dalam waktu yang singkat. Mungkin ini akan menjadi awal musim gugur terburuk baginya. Pertama kekasihnya, Brenda meninggalkannya karena selama ini dia tidak pernah benar-benar mencintai Dylan. Sekarang dia terduduk di bawah pohon maple setelah ditinggalkan oleh seorang gadis yang baru saja dikenalnya sore itu. Tiba-tiba lamunan Dylan dibuyarkan oleh panggilan seorang gadis dari belakangnya.
“Lizzy, you?”
“Ini, kamu mau ice cream vanilla campur melon? Hey Dylan, sekarang khan bukan musim dingin, jadi nggak ada salahnya kalau kamu menghabiskan sore ini dengan mencicipi ice cream.” Dylan hanya terdiam dan mengambil ice cream yang disodorkan oleh Lizzy.
“Dylan, aku hanya tidak ingin mengawali musim gugur ini dengan sesuatu yang buruk. Aku minta maaf kalau ternyata kehadiran aku di taman ini menjadi masalah bagimu. Tapi, jujur saja aku tidak setuju dengan caramu berpikir. Kalau kamu tidak ingin orang lain memperhatikan apa yang tengah terjadi di antara kamu dan pacarmu, seharusnya kalian tidak memilih tempat umum untuk berpacaran.” Dylan hampir saja tersedak mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Lizzy. Untung saja dia dengan cepat bisa menguasai diri sehingga Lizzy tidak sempat melihat perubahan air muka Dylan yang sama sekali tidak menyangka bahwa Lizzy akan mengatakan hal seperti itu.
“Oh,umph sorry. Aku..” Lizzy tertawa kecil melihat tingkah Dylan yang tiba-tiba saja terlihat menggelikan. Dylan berusaha menjelaskan dengan ucapan yang terbata-bata. Membuatnya terlihat salah tingkah. Tapi akhirnya Dylan ikut tertawa bersama Lizzy.
“Oke, kalau gitu, bisa kita mulai semua dari awal? Namaku Dylan, Dylan Feedrich.” Dylan mengulurkan tangannya dengan senyum tipis. Lizzy menyambut tangan itu dengan senyuman yang mengembang di sudut bibirnya.
“Aku Lizzy, Lizzy Derracloud.” Deg. Entah kenapa Dylan merasa jantungnya sempat berdetak tidak teratur ketika melihat senyuman dan tatapan mata Lizzy yang hangat, tapi entahlah mungkin itu hanya perasaan saja yang hanyut dalam suasana sore di musim gugur yang begitu romantis.
“Mm…Lizzy, nice to meet girl like you.” Lizzy tertawa mendengarkan ucapan Dylan.
“Dylan, kamu terlalu cepat mengucapkan itu. Mungkin sebentar lagi kamu akan mengatakn, Lizzy will you be mine? Nggak lama setelah itu kamu bakal ngelamar dan bilang Lizzy will you marry me? Sini aku lihat dulu, di dalam bola matamu yang hijau itu apakah terdapat tanda-tanda bahwa kamu adalah titisan William Shakespear yang mewariskan kata-kata dan sifat yang romantis padamu.” Lizzy menatap mata Dylan dalam-dalam, tentu saja hal tersebut membuat Dylan tercekat. Namun, tiba-tiba lizzy menundukkan wajahnya.
“Humph,,sudahlah. Kamu tidak mungkin dia. Lebih baik sekarang kamu menemani aku keliling ketempat-tempat yang jauh lebih menarik dari taman ini. Anggap saja kamu hutang ice cream sama aku.” Dylan semakin bingung dengan tingkah Lizzy yang bisa berubah dalam waktu yang sangat singkat. Terkadang Dylan merasa bahwa Lizzy bukan lagi orang asing yang baru saja dikenalnya namun kadang di saat yang sama Dylan merasa Lizzy begitu asing dan tidak dikenalnya. Namun, sudahlah baginya begini lebih baik. Setidaknya Lizzy bukan pilihan yang buruk untuk membantu Dylan melupakan Brenda.
“Ok,Lizzy aku nggak mau punya hutang sama kamu. Karena aku takut kalau ternyata hutangnya itu bisa berlipat ganda. So, let’s move on from here and let I show to you how beautiful autumn in New York is.”
***
Hari ini hari terakhir Lizzy di New York, setelah beberapa hari berlibur disini dengan ditemani Dylan, ternyata bisa membuat suasana hatinya membaik. Setidaknya memang itu yang menjadi tujuan utamanya yaitu berlibur dan melupakan masa lalunya. Namun, sekarang masalah baru muncul dihadapan Lizzy, Dylan. Lizzy tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya kepada Dylan, seseorang yang telah menemani Lizzy melewati masa-masa sulitnya belakangan ini. Dylan, yang tanpa dia sadari ternyata telah mengisi relung hatinya. Tanpa Lizzy sadari entah sejak kapan perasaannya pada Dylan berubah bukan lagi sekedar teman. Lizzy jatuh cinta pada pria yang selalu bisa memahaminya tersebut.
Lizzy memantapkan langkahnya, hari ini dia akan menemui Dylan untuk mengungkapkan apa yang selama ini dia rasakan. Karena besok Lizzy akan pergi meninggalkan New York dan semua kenangan manisnya bersama Dylan. Lizzy tidak ingin menyesal suatu saat nanti dengan memendam semua perasaan yang dimilikinya saat ini. Meskipun Lizzy tidak yakin apakah Dylan mempunyai perasaan yang sama dengannya, tapi Lizzy sudah siap untuk menerima apapun tanggapan Dylan nantinya.
Langkah Lizzy terhenti, tepat ketika dia melihat seseorang yang sangat dikenalnya berdiri dalam dekapan seorang gadis, gadis itu adalah Brenda. Lizzy merasakan dadanya sesak menahan air mata yang entah kenapa tak bisa dibendungnya. Lizzy menyeka air mata yang mulai membasahi pipi dan make up tipisnya. Seandainya saja hal seperti ini terjadi pada orang lain, maka orang tersebut akan merasakan dunianya telah hancur, namun bagi Lizzy tak ada lagi perasaan semacam itu, karena dunia miliknya telah lama hancur, kepahitan yang baru saja terjadi didepannya tersebut hanyalah flashback masa lalu yang semakin membuatnya merasa tegar meskipun jauh di lubuk hatinya dia hanyalah seorang gadis yang rapuh.
Tanpa sengaja Dylan menoleh kearah Lizzy yang tersenyum pahit menatap Dylan. Senyuman yang dihiasi dengan luka. Dylan tercekat dia tidak menyadari kehadiran Lizzy, entah sejak kapan Lizzy berdiri disana. Dylan menyentakkan pelukkan Brenda yang terlihat bingung. Jika dulu Lizzy berlari dari lukanya ketika melihat Diaz dan Grace, kali ini dia tidak ingin berlari lagi. Lizzy membiarkan Dylan berlari menghampirinya.
“Lizzy, aku nggak tahu sejak kapan kamu berdiri disini dan melihat aku bersama Brenda. Tapi sungguh aku bisa menjelaskan semuanya, aku nggak ingin kamu salah paham.” Lizzy hanya tersenyum membisu mendengarkan setiap ucapan yang keluar dari mulut pria yang sangat dicintainya ini. Lizzy mencoba menyelami mata hijau bening milik Dylan dan entah kenapa di dalam mata itu Lizzy seolah bisa menemukan rasa penyesalan yang teramat dalam. Lizzy menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia berbicara pada Dylan.
“Dylan, kamu nggak perlu ngejelasin apa-apa padaku. Aku ngerti kok kalau semua ini memang sudah seharusnya terjadi, hanya aku saja yang terlalu berharap lebih. Aku ……” Lizzy tidak sempat menyelesaikan kata-katany karena tiba-tiba saja Dylan menempelkan telunjuknya di bibir Lizzy, kemudian mengelap bekas air mata yang telah mengering di pipi Lizzy. Kemudian Dylan mendekap Lizzy dengan erat.
“Lizzy, aku tidak mau mendengarkan apa-apa lagi. Biarkan hati kita saja yang berbicara. Karena aku yakin, hati akan lebih memahami perasaan kita. Karena aku nggak tau, entah sejak kapan aku mulai ketakutan kalau kamu jauh dari aku. Yang aku tau hanyalah aku nggak ingin kehilangan kamu, karena kamu adalah angin musim gugur yang berhembus sejuk dihatiku. Hanya itu.” Tepat ketika Dylan berhenti berbicara, tiba-tiba ada benda putih yang jatuh diatas hidung Dylan, tak lama, benda putih itu tiba-tiba mencair. Lizzy dan Dylan terdiam, saling berpandangan, tidak mungkin. Benda itu adalah salju, tapi sekarang masih musim gugur. Mungkinkah itu salju pertama di musim dingin? Lizzy dan Dylan tersenyum bersamaan, jauh di dalam hati, keduanya berharap semoga salju itu adalah pertanda bahwa cinta mereka akan abadi selamanya.
***
Lizzy melangkah bersama Dylan, meninggalkan taman tempat mereka pertama kalinya bertemu. Tempat Lizzy akhirnya menemukan cinta sejati yang selama ini belum dia miliki. Ternyata salju yang jatuh tadi memang salju pertama di musim dingin, karena setelah itu salju terus berjatuhan. Seharusnya Lizzy tinggal lebih lama lagi di New York. Setidaknya menikmati musim dingin di New York untuk beberapa hari. Karena sebenarnya Dylan sangat ingin menghabiskan musim dingin bersama Lizzy, kekasihnya. Setelah melewati musim gugur yang indah bersama temannya, Lizzy. Walaupun Lizzy juga sangat menginginkan itu, tapi dia tidak bisa karena dia harus segera pulang untuk membantu persiapan pernikahan kakaknya, Grace dan Diaz.
***
Hari ini, 3 tahun sejak kejadian itu. Lizzy kembali ke New York. Masih musim gugur yang sama di kota yang sama. Lizzy masih melihat gadis kecil yang dulu menggesek biola memainkan Ode to Joy Beethoven. Meskipun begitu, tetap saja ada yang berubah. Karena hari ini Lizzy duduk sendiri di taman itu menghabiskan musim gugur tanpa di temani seseorang yang membuatnya tenggelam dalam penyesalan selama bulan terkahir. Seseorang yang sangat ia cintai, Dylan. Dylan meninggal beberapa waktu yang lalu karena kecelakaan pesawat terbang. Seharusnya hari itu adalah hari jadi mereka yang ke 3 namun, ternyata tuhan memiliki keinginan lain. Hari itu tidak akan pernah genap menjadi 3 tahun untuk Lizzy, akan selalu menjadi 2 tahun 364 hari. Tapi Lizzy yakin, kali ini cintanya tidak akan berakhir karena di kehidupan manapun dia dan Dylan akan saling mencintai dan kembali dipertemukan.
Di tengah sejuknya angin musim gugur Lizzy tersenyum. Tangannya mendekap buku sketsa milik Dylan di dadanya. Tak ada lagi penyesalan mengendap di hatinya. Musim gugur kali ini telah mengingatkannya pada hal terindah yang pernah dimilikinya.
Thanks, Dylan. You’re always gonna be my autumn.