Pages

Sabtu, 31 Maret 2012

The Rain Story

Bab 1
Face of the Rain




16 November 2010, Seoul terlihat seperti kota tidur yang berselimutkan salju tebal. Waktu bergerak lebih lamban, seolah ikut malas karena udara dingin yang membuat semua orang enggan untuk bangkit dari tempat tidur yang hangat. Sungai Han masih menawarkan pesonanya, meskipun tidak banyak yang bersantai di sana, karena biasanya orang-orang lebih memilih menghabiskan waktu di sungai Han pada sore hari sambil menikmati sunset yang merona. Beberapa kapal ferry yang membawa wisatawan terlihat mulai hilir mudik membelah sungai Han menyusuri kota Seoul hingga berakhir di dermaga Yeoinaru. Biasanya dari sana wisatawan akan melanjutkan perjalanan mereka menuju namsan Seoul Tower dengan menggunakan subway dari Yeouinaru Station ke Chungmuro Station.

Rian merapatkan jaketnya, meskipun dia sudah melapisi tubuhnya dengan sweater dan jaket, udara dingin masih saja merasuki tulangnya. Musim dingin benar-benar menyiksa bagi Rian yang terbiasa dengan kehangatan pulau Jeju. Rian berjalan menyusuri sungai Cheonggyecheon yang terlihat sangat indah dengan beberapa pelukis jalanan yang menekuni kuas dan kanvasnya. Rian menghela nafas pelan, Cheonggyecheon memang indah, bahkan semalam dia menghabiskan waktu 2 jam berjalan menyusuri sungai ini tanpa bosan. Tapi, udara dingin yang menusuk mempengaruhi Rian untuk segera pulang dan menikmati hamparan padang rumput pulau jeju yang hangat. Rian sedikit terhibur dengan pemandangan yang di tampilkan The Wall of Culture, foto-foto Cheonggyecheon dari masa ke masa.

“Oppa, aku sudah menepati janjiku. Tapi kenapa kamu membuatku terlihat seperti orang bodoh? Berjalan sendirian menyusuri sungai yang di penuhi dengan romantisme. Mereka benar-benar membuatku iri.” Rian bergumam, menyumpahi seseorang yang membuatnya rela meninggalkan kehangatan pulau Jeju dan menghabiskan musim dingin di kota seoul yang benar-benar dingin.

Rian menaiki subway tanpa tujuan, dia hanya menuruti langkahnya. Rian mendengus kesal ketika tiba-tiba langkahnya terhenti di depan pintu masuk Seoul Tower. Semula Rian berniat untuk memutar langkahnya, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk berjalan ke arah lift untuk naik ke atas Seoul Tower. Dari atas Seoul Tower Rian menikmati hamparan Kota Seoul yang di selimuti salju. Rian menatap ratusan gembok-gembok dengan berbagai ukuran, bentuk, dan warna yang berjejalan di Seoul Tower.

Rian mengamati gembok-gembok itu, hingga matanya tertumbuk pada sebuah gembok dengan bentuk yang sangat unik, berwarna biru muda, di sana tertulis ‘saranghae, gomawo, mianhae’. Rian tercekat, dan merasakan dadanya mulai sesak. Hujan tiba-tiba turun seolah ingin membiarkan Rian tenggelam dalam isakan perlahannya. Orang-orang mulai berlarian menghindari hujan. Tapi, Rian tidak bergeming dari tempatnya berdiri, memegangi gembok yang mulai berkarat dengan keputusasaan. Hujan seolah menghantarkannya kembali ke masa indah yang telah terlewatkan. Rian tenggelam dalam tangisannya sampai seorang anak kecil membuyarkan lamunannya.

“Noona apakah kau tidak kedinginan? Kalau kau terus berdiri di sini kau akan sakit. Masuklah ke bawah payungku, aku rasa payung ini cukup besar untuk kita berdua.” Rian berusaha menahan isakannya, menatap bocah kecil tersebut, lalu tersenyum dia bahkan lupa pada udara dingin yang membuatnya kesal.

“Gomawo. Tapi aku tidak akan sakit hanya karena hujan.”

“Lalu, kenapa Noona menangis, apakah hujan membuatmu sedih?”

“Menangis? Aku tidak menangis, aku hanya terharu. Aku sangat menyukai hujan, karena membuatku mengingat saat yang bahagia dan juga sedih.”

“Noona, kau seperti Hyungku, dia juga sangat menyukai hujan, dia bilang hujan memiliki dua sisi bahagia dan sedih.”

“Chang Min-a...!!”

“Ooo. Noona itu hyungku, aku harus segera pergi, ini ambil saja payungku.”

“Jamkkan man!”

“Ne?”

“Mm, kapan aku bisa mengembalikan ini?”

“Oh, itu buatmu saja Noona, aku sangat berterimakasih kalau kau mau memakainya, kau Noona yang sangat cantik yang pernah ku temui, jadi jangan sampai sakit, meskipun kau sangat menyukai hujan, kau tidak boleh berdiri di tengah hujan. Oh ya, kalau aku sudah besar nanti, aku berharap bisa menemukan wanita secantik dirimu. Anyeong...!”

“Gomawo, Chang min-a aku akan memakai payung ini.” Rian tersenyum melihat payung berwarna biru muda yang sekarang ada di tangannya. Namun tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada tulisan tangan di sisi bawah payung tersebut, tadi dia tidak melihatnya karena Chang Min yang memegangi payung tersebut lebih pendek darinya. ‘saranghae, gomawo,mianhae’. Rian kembali tercekat, kesadaran segera menguasainya dengan kalap Rian berlari ke arah Chang Min menghilang. Tapi dia sudah tidak bisa menemukan bocah kecil itu lagi. Rian menatap nanar payung berwarna biru muda di tangannya, membiarkan hujan lebat mengguyur tubuhnya. Menyesali kebodohannya, bagaimana mungkin dia bisa lupa Chang Min, Park Chang Min, adik kecil Park Jong Ki.

Di sudut lain Tower, Chang min berdiri menatap Rian dari jauh. Kemudian dia mengalihkan tatapannya pada pria yang berdiri di sampingnya.

“Hyung, kenapa kau tidak mau menemuinya? Bukankah kau selalu mengatakan kau sangat menyukai Rian Noona seperti kau menyukai hujan?” Lelaki yang di panggil hyung oleh Chang Min tak lain adalah Jong Ki.

“Chang Min, seperti yang ku katakan, cinta itu seperti hujan mempunyai dua sisi kebahagiaan dan kesedihan. Tapi selama ini, aku hanya memberinya satu sisi, kesedihan. Aku tidak mau membuatnya menderita lebih lama. Aku mencintainya, dan berterimakasih karena dia memberiku kesempatan untuk mencintainya, tapi aku juga minta maaf karena telah membuatnya sedih karena mencintaku.”

“hyung, aku tidak mengerti.” Jong Ki tersenyum menatap adiknya.

“Kalau kau sudah besar nanti, kau pasti akan mengerti. Sudahlah lebih baik kita pergi. Gaja!”

“aa, Ara...”

Jong Ki menuntun Chang Min ke arah lift setelah menatap Rian yang ternyata sudah pergi dari tempatnya berdiri tadi, tiba-tiba seseorang menarik tangannya.

“Oppa...!!!!”