Pages

Sabtu, 15 Januari 2011

FREUNDSCHAFT

Sesuatu yang diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca seperti titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!). itu merupakan defenisi dari kalimat, menurut dosen gue. Sebenarnya gue pengen nanya, “trus gimana dengan penulisan daftar pustaka buk? Bukannya juga di awali dengan huruf capital? Tapi kenapa nggak disebut kalimat?” tapi gue urungkan pertanyaan gue, karena apa?, karena gue nggak mau terlihat pinter hehehee…

“Albertus Ahmad ibn Gautama !” Panggilan, tepatnya teriakan dosen kimia, Pak Jo sepertinya merupakan senjata ampuh untuk membubarkan khayalan-khayalan temanku, Albert yang lebih senang di panggil Ahmad ibn.

“Ya,pak..!” Lagi-lagi dengan wajah tanpa dosa ahmad menyahuti panggilan Pak Jo yang terkenal dengan sifat arogannya. Aku heran dan yakin kalau sebenarnya temenku yang satu ini punya nyawa lebih dari satu.

“Apakah untuk kesekian kalinya saya harus memperingatkan anda untuk fokus pada mata kuliah yang saya berikan? Atau untuk kesekian kalinya juga anda ingin saya mengusir anda keluar?” Kata-kata yang aku yakin bisa membuat mahasiswa mengucurkan keringat dingin, tapi tentu saja tidak dengan Ahmad, dia tetap tenang dan dengan santai menanggapi setiap kata-kata yang dilontarkan Pak Jo.

“Umm,,maaf pak, menurut saya, saya fokus pada materi yang anda berikan, mungkin saya hanya tidak fokus dengan cara anda memberikannya.” Gila, aku benar-benar sudah tidak mengerti sebenarnya mental seperti apa yang dimiliki anak ini.

“Maksud anda, saudara Albertus ?”

“Maap pak, saya Ahmad, Ahmad ibn. Maksud saya adalah bapak menjelaskan mengenai sejarah atom, dari teori J. J. Thompson kemudian Ernest Rutherford hingga Niels Bohr dengan cara memaksa kami untuk menganggung-agungkan mereka. Padahal inti dari semua yang bapak jelaskan itu tidak ada sama sekali, tidak ada teori dan bukti, yang ada hanyalah catatan-catatan sejarah untuk mengisi ujian yang bisa kami temukan di perpustakaan, internet atau media. Sedangkan yang dibutuhkan oleh semua mahasiswa yang ada di sini adalah ilmu, bukan nilai.” Bukan hanya Pak Jo yang dibuatnya tercengang, melainkan semua yang ada diruangan tersebut. Kekagumanku pada Ahmad semakin menjadi dan bertambah, dia dengan lepasnya bisa menyampaikan apa yang kami semua ingin sampaikan, dengan tenangnya dia mampu mengucapkan apa yang kami ingin ucapkan, dia telah dengan beraninya mewakili pemikiran kami semua. Tapi keberaniannya itu harus dibayar dengan mahal, karena Pak Jo bukanlah tipikal dosen yang berjiwa besar untuk mendengarkan kritikan orang lain.

“Baiklah, kalau anda merasa tidak nyaman, silahkan tinggalkan mata kuliah saya.”

“Loh, kenapa? Saya tidak mengatakan saya tidak nyaman pak.”

“Saudara Albertus apakah anda tidak diajari oleh ibu anda untuk mengerti bahasa manusia? KELUAR. Bagi siapapun yang mempunyai pikiran yang sama dengan anak ini, silahkan mengikutinya !” Aku tercekat melihat kemarahan Pak Jo, aku yakin kami semua mempunyai pikiran yang sama dengan Ahmad,tapi kami tidak mempunyai keberanian yang sama dengannya.

“Baiklah,pak. Saya akan keluar, tapi teman-teman sekalian kalian jangan pernah meninggalakan tempat duduk yang sekarang kalian duduki, karena saya paham, teman-teman belum memiliki cukup keyakinan untuk memilih ilmu atau nilai. Satu lagi pak, nama saya Ahmad, Ahmad ibn. Albertus itu hanyalah nama orang yang diberikan kepada saya sebagai rasa hormat karena telah melahirkan ibu saya!”

Itu hanya sebagian kecil dari banyak hal yang menjadikannya istimewa. Dia adalah teman terbaik dan sangat istimewa yang pernah saya temui. Dia selalu mengatakan kepada saya,” Fath, kamu tau kenapa saya bisa ada disini?” tentu saja aku bingung mendengarkan pertanyaannya, kemudian dia meneruskan lagi ucapannya, “Aku ada di sini, karena aku menginginkannya. So, kamu harus memahami, bahwa kamu harus melakukan sesuatu yang kamu inginkan, bukan yang orang inginkan atas dirimu.” Terus bersamanya membuat aku mengerti, bahwa bocah satu ini benar-benar terlahir untuk menjadi seseorang yang istimewa. Dari awal, aku mengira dia adalah seorang anak dari keluarga kaya raya yang bisa meminta apa saja dari orang tuanya sehingga dia bisa melakukan apa saja yang disukainya. Tapi ternyata aku keliru, dia hanyalah anak seorang ayah yang bekerja sebagai buruh perusahaan perminyakan dan ibu yang bekerja sebagai guru taman kanak-kanak yang tidak digaji. Dapat aku simpulkan, mungkin uang bulanan yang kudapat dari orangtuaku, lebih besar dari pendapatan keluarganya. Anehnya, dia tidak pernah sekalipun mengeluh masalah ekonomi, setelah itu aku baru tau ternyata dia bekerja part time di sebuah sekolah islam dekat kampus kami. Aku semakin malu, setelah tau bahwa dia kuliah di kampus ini dengan beasiswa dan mencukupi hidupnya sendiri dengan bekerja.
Suatu hari dia bertanya, “Fath, kamu pernah memperhatikan ibumu menangis atau tersenyum?” Seperti biasa aku bingung mendengar pertanyaannya, karena jangankan memeperhatikan ibuku menangis atau tersenyum, melihatnya saja aku hanya sekilas, karena aku tau ibuku juga tidak pernah benar-benar menyayangiku. Baginya kami hanyalah peliharaan yang harus terus dilatih agar suatu saat bisa meneruskan karir yang telah ia capai sekarang. Seolah mengerti kenapa aku diam, dia kembali melanjutkan perkataannya,

“ Fath, mungkin kamu berpikir, jangankan memperhatikan, melihatnya saja aku tidak terlalu sering. Padahal kamu tau Fath, jauh di sini, di lubuk hatimu, kamu memperhatikannya dengan sangat detail. Kamu merindukan masa kecilmu yang senantiasa menjadi topic utama dalam hidupnya. Seharusnya kamu tau, ibumu begitu karena dia menginginkan kamu tumbuh dewasa sebagai seorang lelaki, tidak manja. Hmm,, ya sudahlah Fath, jangan terlalu kamu pikirkan cukup pahami kalau temenmu ini sedang kelaparan, jadi ayok kita cari makan dulu. Heheheee.”

“Hah,,dasar kamu menghancurkan konsentrasiku aja ust.”

“Ust ? panggilan apalagi tuh.”

“Ust, yah ustada walaupun cuma setengah.”

“Hahaa.. nggaklah Fath, aku belum pantes untuk panggilan itu.”

Begitulah dia selalu merendah dan tidak menonjolkan kehebatannya. Dia tidak pernah merasa hebat meskipun selalu mendapatkan IPK tertinggi. Dia temanku, namanya Albertus Ahmad ibn Gautama berasal dari dua orangtua yang muallaf, keluarga ibu yang Kristen dan keluarga ayah pemeluk budha, dia diberikan kebebasan memilih, dan pilihannya adalah menjadi seorang muslim yang taat. Aku temannya, Fath alatifh berasal dari keluarga terpandang ibuku seorang sukarelawan yang giat bekerja di bidang social, sering disibukkan oleh kegiatan panti asuhan atau panti jompo yang didirikannya, sedangkan ayahku direktur dari perusahaannya sendiri. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara kakak laki-lakiku yang pertama telah menyelesaikan program doktornya di Harvard University dan sekarang memilih untuk bekerja di Inggris sedangkan kakak perempuanku baru saja melanjutkan pendidikannya di Universitas Lomonosov, Rusia. Entah bagaimana keadaan mereka, keduanya memilih untuk jauh dariku dan keluarga, memilih pergi untuk sebuah kehidupan yang bebas. Sedangkan aku, aku tidak pernah diberi kesempatan memilih, memilih untuk hal yang aku inginkan. Mungkin semenjak aku lahir, aku sudah diputuskan untuk menjadi seorang mahasiswa teknik sipil. Sehingga sekarang di sinilah aku berada, ITB. Kampus yang aku banggakan, karena disinilah aku mengerti bahwa hidup itu untuk berjuang, hidup itu untuk berbagi karena disinilah aku menemukan teman terbaikku, Ahmad ibn.


  


“Ahmad, tugas rekayasa bangunanku belum selesai.”

“Iya Fath, lalu kenapa?” Ahmad hanya mengeluarkan pertanyaan sederhana seperti itu padaku, yang mampu membuat emosiku memuncak.

“Kamu Tanya kenapa? Mungkin menurutmu ini bukan masalah kecil karena dalam dua jam kamu bisa menyelesaikan tugsa seperti ini. Karena kamu bisa melakukan semuanya dengan mudah.”

“Fath, kalau kamu tau aku bisa, lalu kenapa kamu tidak meminta bantuanku? Itu karena kamu juga tau, kalau kamu juga bisa. Masih ada waktu Fath, mari aku bantu.” Dia memang sangat sederhana, kata-katanya, sikapnya, dan kebaikkannya. Hari itu dia membantuku mengerjakan tugas rekayasa bangunan itu, yang seharusnya aku kerjakan sendiri. Aku dan dia tidak pernah tau kalau hari itu adalah hari terakhirnya menjadi mahasiswa ITb, hari terakhirnya mengerjakan tugas bersamaku tapi dia mengatakan bahwa hari itu bukanlah hari terakhrinya menjadi temanku.

Dia, teman terbaikku hari itu dikeluarkan dari kampus kebanggaannya, dari masa depan yang diperjuangkannya, semua karena kesalahanku. Dia ketahuan membuatkan tugasku, yang menurut dosen merupakan kesalahan fatal. Aku tidak mengerti, seberapa jahatnya aku, dan seberapa baiknya dia. Yang aku sesalkan adalah aku tidak melakukan pembelaan apa-apa terhadap kesalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawabku. Aku hanya diam, melihat teman terbaikku di usir dari tempat yang membuatnya merasa hidup semakin berarti. Dia akan selalu menjadi teman terbaikku. Dia tidak menyimpan sedikitpun dendam, dia tidak menyesali kebaikkannya padaku yang mengakibatkan dia dikeluarkan. Dia berkata, “Fath, kamu jangan tenggelam dalam rasa bersalah. Aku tidak menyesali perbuatanku. Kamu harus tau bahwa bagiku, belajar itu bisa di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja karena yang kita butuhkan itu ilmu bukan nilai. Aku melepaskan kepergiannya dengan air mata dan rasa bersalah sedangkan dia meninggalkanku dengan senyuman dan keikhlasan.


  

7 tahun kemudian

“Maaf , bisa saya bertemu dengan pemimpin proyek?”

“Oh, anda pasti Pak Fath, kenalkan saya Andi, Koordinator lapangan.”

“Oh iya Pak Andi. Bisa saya minta tolong, saya ingin bertemu pemimpin proyek ini. Kalau saya boleh tau siapa namanya, saya lupa.”

“Pemimpin proyek ini biasa dipanggil mr.Kind, setiap kali dia dipanggil begitu dia hanya tertawa. Baiklah, mari saya antarkan ketempat beliau.”

“Oh, iya. Terimaksih.”

“Saya yakin, setelah anda bertemu dengan beliau, anda merasa sangat beruntung bisa menjalin kerjasama dengannya. Karena beliau merupakan seorang konsultan sekaligus ahli yang sangat sibuk dan diperebutkan oleh banyak perusahaan. Nah, itu beliau, yang lagi berdiri dan berbicara dengan pekerja lapangan. Maaf, mr.Kind ada yang mencari anda.”

“Ahmad………?????

Seseorang yang sangat ku kenal, seseorang yang membuatku menyadari hidup ini untuk berbagi. Seseorang yang membuatku mengerti belajar itu bisa di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja karena yang kita butuhkan itu ilmu bukan nilai. Dia yang ada di hadapanku sekarang seorang yang memimpin proyek besar di negri ini. Albertus Ahmad ibn Gautama di manapun dia berada dia akan senantiasa dicintai oleh orang di sekitarnya, dia akan senantiasa menebarkan kebaikan.


Cerita ini terinspirasi dari sebuah film.

Tidak ada komentar: